5 Strategi Marketing untuk Mencuri Hati Gen-Z
Published on: Wednesday, Jan 15, 2025 • Updated: Wednesday, Oct 29, 2025
Gen-Z dan Bisnis: Memahami Karakter Mereka dan Cara Memenangkan Hati Mereka
Gen-Z, generasi yang lahir sekitar tahun 1996–2009, menjadi generasi yang paling banyak dibicarakan beberapa tahun terakhir. Bukan hanya di konteks sosial dan budaya internet, tapi juga dalam strategi bisnis dan marketing.
Di Indonesia, berdasarkan data BPS 2023 (dikutip Kumparan.com), jumlah penduduk Gen-Z diperkirakan mencapai sekitar 60 juta orang atau sekitar 22 persen dari total populasi nasional. Itu angka yang sangat besar. Itu juga artinya: siapa pun yang membangun produk hari ini, cepat atau lambat akan berhadapan dengan ekspektasi Gen-Z sebagai konsumen, karyawan, bahkan advokat brand.
Tidak mengherankan kalau banyak brand sekarang berlomba untuk merebut perhatian generasi ini.
Karakteristik Gen-Z dan Implikasinya pada Bisnis
1. Gen-Z adalah konsumen yang cenderung pragmatis dan realistis
Berbeda dari stereotip "anak muda gampang ikut tren", Gen-Z justru terbiasa riset sebelum membeli sesuatu. Mereka akan mencari tahu apakah produk itu benar-benar relevan buat kebutuhan mereka, bukan hanya sekadar populer.
Bagi bisnis, ini berarti:
- Platform, layanan, dan pengalaman brand harus jelas fungsinya.
- Komunikasi tidak boleh cuma estetis, tapi harus terasa berguna.
- Produk harus terasa "punya peran dalam hidup mereka", bukan sekadar barang lucu untuk dikoleksi.
Intinya: Gen-Z tidak hanya melihat apa yang kamu jual, tapi juga kenapa itu penting buat mereka.
2. Konsumsi sebagai ekspresi identitas
Bagi Gen-Z, pilihan produk adalah bahasa identitas. Mereka ingin membeli sesuatu yang "nyambung" dengan persona mereka.
Dampaknya untuk bisnis:
- Produk massal yang sifatnya generik makin kurang menarik.
- Personalisasi bukan lagi fitur tambahan, tapi ekspektasi dasar.
- Brand yang berhasil biasanya adalah brand yang membuat konsumen bisa berkata, "Ini gue banget."
Ini tidak hanya berlaku untuk fashion atau lifestyle. Bahkan hal seperti minuman, bank digital, hingga aplikasi produktivitas mulai diposisikan sebagai ekspresi gaya hidup.
3. Kritis terhadap brand dan proses di baliknya
Gen-Z bukan hanya menilai hasil akhir. Mereka juga menilai prosesnya.
Dalam sebuah survei yang pernah dilakukan McKinsey tahun 2018, sekitar 65 persen responden Gen-Z mengatakan mereka ingin tahu asal-usul dan proses produksi barang yang akan mereka beli. Bahkan 80 persen responden menyatakan menolak produk yang terkait dengan isu atau skandal tertentu.
Artinya:
- Transparansi operasional itu penting.
- Reputasi brand tidak lagi hanya ditentukan oleh "apa yang kita katakan di iklan", tapi juga "apa yang orang bilang tentang cara kita bekerja".
- Skandal etika, eksploitasi karyawan, isu lingkungan, atau kebohongan publik bisa langsung berdampak ke keputusan beli.
Bagi perusahaan, menjaga kepercayaan bukan kerja PR saja. Ini kerja kultur.
5 Strategi Marketing untuk Mencuri Hati Gen-Z
Di bawah ini ada lima arah strategi yang relevan untuk bisnis atau brand yang ingin engage Gen-Z secara lebih sehat dan berkelanjutan.
1. Jangan cuma jual produk. Tawarkan value dan benefit yang nyata.
(Value and Benefit Product | Foto: Base)
Untuk Gen-Z, membeli sesuatu bukan sekadar transaksi. Mereka akan bertanya: apa manfaat konkretnya buat gue, hari ini.
Maka, daripada hanya bicara fitur, posisikan brand sebagai partner penyelesai masalah. Bukan "kami jual kursus", tapi "ini cara kamu bisa mulai dapat skill yang bisa diuangkan". Bukan "kami jual skincare", tapi "ini membantu kulit lo pulih setelah begadang tiap hari".
Dengan kata lain: mereka membeli solusi, bukan katalog.
2. Jadi yang paling unik dalam 3 detik pertama
(Susu Oatmilk | Foto: Oatside)
Gen-Z adalah multitasker digital. Mereka selalu berada di banyak stream informasi sekaligus. Konsekuensinya, attention span mereka pendek. Kalau kamu tidak menarik dalam hitungan detik pertama, mereka pindah.
Apa implikasinya untuk brand:
- Pesan harus jelas, singkat, dan spesifik.
- Value proposition harus gampang ditangkap bahkan tanpa konteks panjang.
- Visual, tone, dan gaya bicara harus terasa beda, bukan generik.
Contoh yang sering disebut adalah Oatside. Selain menawarkan positioning "susu oat yang lebih sehat dan lebih ramah lingkungan", mereka juga menang di detail yang kelihatannya kecil tapi terasa dekat: kemasan dengan corong yang enak diminum langsung, desain ilustrasi yang playful, dan persona brand yang terasa ngobrol, bukan mengajar.
Unique bukan berarti aneh. Unique berarti terasa punya karakter.
3. Maksimalkan konten video, terutama format edutainment
(Konten edutainment TikTok | Foto: TikTok.com)
Konten visual, terutama video pendek, adalah habitat alami Gen-Z. Mereka tidak hanya menonton untuk hiburan, tapi juga untuk belajar.
Format yang efektif buat Gen-Z saat ini adalah edutainment: education plus entertainment. Jadi bukan sekadar "tips 5 langkah" yang kaku, tapi pengetahuan yang dikemas santai, relevan, dan lucu sedikit tidak apa-apa.
Beberapa bentuk yang bekerja:
- Cerita orang pertama ("gue dulu ngalamin ini...")
- Behind the scenes proses bikin produk
- "Rahasia" atau hal yang jarang dijelasin brand lain
- How-to singkat yang bisa langsung dicoba hari itu juga
Tujuannya bukan viral semata. Tujuannya: rasa dekat. Mereka ingin merasa brand ini "ngerti bahasa gue".
4. Manfaatkan User Generated Content (UGC)
(TikTok UGC | Foto: TikTok)
UGC (konten buatan pengguna) terasa lebih terpercaya buat Gen-Z dibandingkan iklan formal. Kenapa? Karena narasinya terdengar lebih jujur. Mereka merasa orang biasa tidak punya insentif sebesar brand untuk memoles kenyataan.
Dampak praktisnya:
- Review dari pengguna nyata dianggap kredibel.
- Cerita jujur tentang pengalaman memakai produk bisa jadi alat jual paling kuat.
- Testimoni real, bahkan yang tidak sempurna, bisa lebih efektif daripada copywriting pemasaran yang rapi.
Ini juga berarti: semakin banyak konsumenmu mau cerita sendiri tanpa kamu paksa, semakin sehat kepercayaan terhadap brand-mu.
5. Bangun kepercayaan lewat pengalaman pelanggan, bukan slogan
(Rating Product | Foto: Medium)
Trust buat Gen-Z tidak lahir dari tagline. Trust lahir dari pengalaman langsung.
Ketika produk benar-benar membantu mereka menyelesaikan masalah spesifik, itu meninggalkan kesan positif yang kemudian berubah jadi:
- Repeat purchase (loyalitas)
- Rekomendasi ke teman (word of mouth)
- Pembelaan di komentar media sosial saat brand diserang
Hubungan ini sederhana tapi sering dilupakan: kepuasan pengalaman memicu rasa memiliki, rasa memiliki memicu pembelaan publik. Tidak ada iklan yang bisa membeli itu dengan harga murah.
Penutup
Kita sering bicara tentang Gen-Z seolah-olah mereka satu warna: impulsif, digital native, gampang bosan. Tapi kalau dilihat lebih dekat, mereka tidak dangkal. Mereka selektif.
Mereka ingin membeli dari brand yang:
- Menghargai kecerdasan mereka.
- Mengizinkan mereka jadi diri sendiri.
- Tidak membohongi mereka soal cara kerja di balik produk.
Pertanyaannya sekarang bukan hanya "bagaimana cara kita menjual ke Gen-Z", tapi pertanyaan yang mungkin lebih sulit: apakah bisnis kita layak dipercaya oleh mereka?
Bangun bisnis yang jalan, bukan cuma ide di kepala
Jawab beberapa pertanyaan singkat tentang kondisi bisnismu, dan kami akan rekomendasikan kelas paling relevan: validasi masalah customer, bagi saham co-founder, sampai mindset founder yang tahan banting. Fokus, praktis, langsung bisa dipakai.
Coba Quiz Rekomendasi